Summer Course “Phenomenon of Visual Culture” – 18‑23 Agustus 2025 PSG Silpakorn University, Bangkok
PSG Silpakorn University telah menyelenggarakan program summer course bertajuk “Phenomenon of Visual Culture” yang telah dilaksanakan pada 18 hingga 23 Agustus 2025 di kampus Nakhon Pathom (Sanam Chandra Palace). Kegiatan ini mempertemukan akademisi dan mahasiswa dari berbagai institusi internasional untuk mengeksplorasi dinamika budaya visual, identitas, dan komunikasi lintas budaya. Diinformasikan juga bahwa delegasi dari Telkom University telah terpilih untuk berpartisipasi dalam program tersebut, terdiri dari: Dosen: Donny Trihanondo (Prodi Desain Interior) Mahasiswa S2 Desain: Fransiscus Carlos S. Ketua Program Studi S2 Desain: Andreas Rio
Fenomenon, Pameran ke-42 Fakultas Seni Lukis, Patung, dan Seni Grafis, Universitas Silpakorn, 2025.
Tentang pameran: Fenomenon, Pameran ke-42 Fakultas Seni Lukis, Patung, dan Seni Grafis, Universitas Silpakorn, 2025. Pameran ini menghimpun karya-karya kreatif para dosen untuk merefleksikan kekuatan, pemikiran, dan semangat seni di bawah tema “Fenomenon”, yang menghubungkan pengalaman pribadi dengan masyarakat kontemporer. Ragam karya yang ditampilkan tidak hanya menunjukkan keahlian artistik, tetapi juga membuka ruang dialog lintas disiplin, budaya, dan batas negara. Pameran ini mengajak pengunjung mengeksplorasi makna “Fenomenon” sebagai wadah perubahan, penafsiran, dan pembelajaran bersama dalam dunia seni masa kini. “Wings of Kinship: Garuda & Khrut” Pameran Kolaboratif Donny Trihanondo dan Tri Haryotedjo Oktober 2025 – PSG Art Gallery, Silpakorn University, Bangkok Mengambil inspirasi dari Garuda, makhluk berbentuk burung legendaris yang berakar dalam mitologi Hindu dan diadopsi secara luas di Asia Tenggara sebagai simbol kekuatan, perlindungan, dan otoritas yang sakral, pameran ini menampilkan evolusi simbolik Garuda yang melintas ruang dan waktu. Di Indonesia dan Thailand, makhluk ini menjadi emblem nasional dan budaya yang kuat. Melalui komposisi visual yang mempertemukan representasi Garuda di kedua negara—mulai dari ukiran klasik candi hingga simbol negara modern—karya ini menangkap transformasi dan adaptasi mitos tersebut secara lintas‐batas. Variasi visual tersebut tidak ditampilkan sebagai kontras semata, melainkan sebagai harmonisasi, menekankan warisan bersama daripada perbedaan.
Dosen Telkom University dan Mitra Internasional Memaparkan Makalah di ICRP 2025, Bangkok
Bangkok, Thailand – Konferensi The 7th International Conference on Rebuilding Place (ICRP 2025) yang diselenggarakan oleh Fakultas Arsitektur Chulalongkorn University, Bangkok pada tanggal 27–28 September 2025, menjadi ajang penting bagi peneliti dan praktisi dari Asia memperkuat kerjasama lintas negara dalam bidang arsitektur dan pembangunan berkelanjutan. Kami dengan bangga mengumumkan bahwa tim peneliti berikut telah berpartisipasi dalam ICRP 2025: Soni Sadono (Telkom University, Bandung) Runik Machfiroh (Telkom University, Bandung) Donny Trihanondo (Telkom University, Bandung) Pipat Saksirikasemkul (Suan Sunandha Rajabhat University, Bangkok) Fransiscus Carlos (Telkom University, Bandung) Makalah yang dipresentasikan berjudul “Comparative Study of Garuda (Khrut) Visual Representation in Indonesian and Thai Architecture”, yang mengkaji bagaimana simbol Garuda (atau Khrut di Thailand) digunakan sebagai representasi visual kekuasaan, identitas nasional, dan diplomasi arsitektural di Indonesia dan Thailand.
Gedung Kaca menjadi masalah visual interior yang Menyebabkan Pegawai Kesulitan Fokus Bekerja
Penelitian Non Kerjasama Internal 2024-2 Oleh : Irwana Zulfia Budiono, Hana Faza Surya Rusyda, Fernando Septony Siregar, Augista Sesi Nastiti, Nafla Abrita Mareta, Shevilla Dwi Octavia Sudah banyak gedung di Jakarta yang mendesain gedungnya dengan facade kaca dengan fokus utama estetika bangunan agar terlihat mewah dan elegan. Gedung kaca memberi kesan tranparan dan terbuka, yang juga difungsikan untuk cahaya alami masuk. Namun dibalik itu semua, ada masalah yang sering sekali muncul pada gedung tersebut, yakni kenyamanan visual pengguna gedungnya. Cahaya matahari yang masuk diperuntukan untuk membatu pencahayaan alami saat pagi hingga sore hari. Namun dengan adanya cahaya matahari yang berlebihan membuat ruangan menjadi silau, sehingga membuat kerja menjadi tidak nyaman dan kondusif, den mengurangi preduktifitas pekerjanya. Fenomena ini dapat ditemui di beberapa kantor yang ada di pusat Jakarta. Termasuk pada bangunan X yang memiliki lima gedung yang disusun berhadapan, dengan dua gedung yang mempunyai desain berbeda (Gambar 1). Gambar 1. Sketsa Gedung Perkantoran X di Kota Jakarta Sumber: Olahan Penulis (2025) Tim peneliti meneliti dua bangunan yakni gedung 1 dan gedung 4. Orientasi gedung ini pada arah yang sama, yakni arah utara, namun pada kasus gedung 4 di lantai 6, yang selubung bangunananya merupakan kaca penuh. Dari luar terlihat modern, namun bagi kartawannya memunculkan adanya ganguan visual saat bekerja. Adapun, alasan tim memilih gedung 1 dan gedung 4 ialah, keduanya memiliki 7 – 10 lantai dan keduanya menghadap timur dan barat pada sisi memanjangnya, namun gedung 1 telah diimplementasikan second facade sehingga cocok untuk dijadikan komparasi bagi gedung 4. Cahaya matahari pada lantai 6 gedung 4 masuk tanpa filter yang memadai. Vertical blind yang ada didalam ruangan, merupakan salah satu pelindung dari cahaya matahari yang terlalu terpapar di luar ruang. Penutup dari dalam ruang ini memang sebagian mengurangi cahaya masuk, akan tetapi tidak cukup untuk mengurangi intensitas silau dan juga panas dari radiasi matahari. Beberapa pekerja yang area duduknya dekat arah luar bangunan, mengeluhkan ruang kerja yang menyilaukan dan cepat panas, sehingga membuat sulit fokus. Seringnya pekerja menutup seluruh blind sepanjang hari, segingga membuat ruangan menjadi kurang cahaya, dan beberapa area akhirnya menyalakan lampu. Dengan kehadiran lampu ini, membuat tujuan penggunaan pencahayaan alami tidak tercapai (Gambar 2). Gambar 2. Hasil Simulasi dengan Software Dialux Evo pada Gedung 4 lantai 6 Sumber: Simulasi oleh Tim Peneliti (2025) Tidak seperti gedung 4, gedung 1 mempunyai hasil yang lebih nyaman, dikarenakan adanya secondary skin atau yang biasa disebut dengan lapisan kedua eksterior fasad. Lapisan ini berfungsi sebagai pelindung dari cahaya dan panas matahari. Sehingga pencahayaan alami dalam gedung ini cukup terkontrol meskipun tanpa menutup tirai. Perbedaaan yang cukup siknifikan ini menunjukan berapa pentingnya desain pelindung pada gedung. Meskipun keduanya memiliki desain dengan kaca, tapi strategi pengendalian cahaya dapat tepat dan menunjukan dampak yang lebih baik (Gambar 3). Gambar 3. Hasil Simulasi dengan Software Dialux Evo pada Gedung 1 lantai 7 Sumber: Simulasi oleh Tim Peneliti (2025) Silau menjadi masalah yang cukup umum karena memiliki dampak yang cukup besar pada kualitas kerja, seeperti ganguan fokus pada cahaya berlebih dan mengakibatkan cepat lelah/ sulit konsentrasi dan tuang kerja yang tidak efisien. Sehingga silau pada gedung merupakan masalah kenyamanan visual yang berhubungan langsung pada produktifitas pekerja. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan visual di ruang kerja, pada gedung kaca, antara lain penggunaan secondary skin, mengoptimalisasi tirai/ blinds, pelapisan film pada kavca, dan desain interior yang adaptif dengan penataan tata letak meja kerja dan pemilihan material untuk mendukung kenyamanan visual. Oleh karena itu, dalam mendesain gedung kaca memnag indah jika dipandang dari luar, namun jika rtidak dioptimalkan dalam mendesainnya, maka membuat orang didalam merasa terganggu dan fugsi utama sebagai ruang kerja menjadi tidak tercapai.
PENERAPAN GREEN DESIGN PADA PROTOTYPE SIMULASI RUANG PENGERING PAKAIAN DI ASRAMA SEKOLAH BOARDING
Asrama sekolah boarding seringkali menghadapi tantangan dalam menyediakan fasilitas pengeringan pakaian yang memadai bagi siswa, terutama saat musim hujan atau keterbatasan lahan. Penggunaan mesin pengering berbahan bakar gas menimbulkan biaya operasional yang tinggi dan kurang ramah lingkungan. Pemanfaatan energi terbarukan seperti panas matahari dan tenaga angin menjadi solusi yang tepat guna dan berkelanjutan. Melalui penerapan green design, ruang pengering pakaian dapat dirancang dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal, sehingga mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan biaya operasional. Permasalahan mendasar yang dihadapi adalah ketergantungan pada metode pengeringan konvensional yang tidak berkelanjutan dan tidak andal dalam menghadapi kondisi cuaca yang tidak menentu. Di satu sisi, penjemuran alami menjadi tidak efektif selama musim hujan atau cuaca mendung berkepanjangan. Kondisi cuaca yang tidak menentu, seperti curah hujan tinggi atau cuaca mendung berkepanjangan, semakin memperparah masalah pengeringan pakaian di asrama sekolah boarding. Hal ini menyebabkan pakaian sulit kering secara alami dan meningkatkan ketergantungan pada solusi pengeringan alternatif (Ballard & Lewandowsky, 2015). Meskipun beberapa solusi seperti pengering tenaga surya konvensional telah diterapkan di berbagai tempat (Aduewa et al., 2022), efektivitasnya seringkali menurun drastis saat cuaca mendung dan umumnya tidak terintegrasi dengan sistem ventilasi pasif untuk sirkulasi udara optimal. Hal ini menjadi kendala signifikan, terutama di daerah dengan curah hujan tinggi seperti di Indonesia, dan memerlukan inovasi lebih lanjut untuk memastikan pengeringan pakaian yang efektif dan efisien sepanjang waktu. Di sisi lain, penggunaan mesin pengering komersial tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan energi, terutama karena biaya operasional yang tinggi dan dampak lingkungan yang ditimbulkan, seperti emisi karbon dan konsumsi energi yang besar (Lynn, 2020). Bahkan, solusi alternatif seperti pengering tenaga surya yang ada saat ini seringkali gagal berfungsi optimal saat cuaca mendung dan tidak terintegrasi dengan sistem ventilasi pasif yang dapat memaksimalkan sirkulasi udara. Fokus utama permasalahan adalah bagaimana membangun metode pengeringan pakaian yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip-prinsip green design, serta mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan seperti panas matahari dan tenaga angin untuk proses pengeringan (Banshwar et al., 2016; Conyette & Ajayi, 2023). Oleh karena itu, kebaruan ilmiah yang signifikan yang ditawarkan dalam pengabdian ini terletak pada perancangan sebuah sistem ruang pengering yang sinergis. Sistem ini secara inovatif menggabungkan pemanfaatan energi matahari dan angin, serta energi mekanikmanusia, dalam suatu kesatuan yang terintegrasi. Pendekatan ini diperkuat dengan fokus pada pemberdayaan komunitas yang kuat, dan keseluruhan desain dirancang secara khusus untuk konteks asrama sekolah boarding di Indonesia (Fadjri et al., 2024; Hao et al., 2024; Malta, 2023). Pengelolaan asrama sekolah boarding, khususnya yang menerapkan sistem full-day atau boarding, kerap menghadapi tantangan dalam penyediaan fasilitas pengeringan pakaian yang efektif dan efisien. Faktor-faktor seperti kondisi cuaca yang tidak menentu, keterbatasan lahan, serta tingginya biaya operasional mesin pengering berbahan bakar gas menjadi kendala utama. Kebutuhan akan solusi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan mendorong eksplorasi alternatif pengeringan pakaian dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan, seperti panas matahari dan tenaga angin. Penerapan green design dalam perancangan ruang pengering pakaian di asrama sekolah boarding menjadi fokus penelitian ini. Perancangan ini meliputi optimalisasi pemanfaatan energi surya dan angin, serta penentuan spesifikasi teknis seperti dimensi ruang, tata letak, sistem sirkulasi udara, dan konstruksi atap. Evaluasi terhadap efektivitas dan efisiensi prototype simulasi ruang pengering pakaian akan menjadi dasar untuk pengembangan model pengeringan yang berkelanjutan dan cost-effective di lingkungan asrama sekolah boarding. Fokus dari masalah ini adalah membangun metode pengeringan pakaian yang berkelanjutan, terutama di lingkungan asrama sekolah boarding. Salah satu masalah utama adalah bagaimana membuat prototipe ruang pengering yang efektif dan efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip green design dan bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga angin dan panas matahari selama proses pengeringan. Selanjutnya, dilakukan perancangan awal yang mencakup penentuan bentuk bangunan, tata letak ruang, jenis material, dan sistem bukaan yang mendukung prinsip keberlanjutan. Perancangan ini dirumuskan melalui sketsa konseptual dan simulasi desain, lalu divisualisasikan dalam bentuk maket studi skala 1:5 untuk menguji proporsi dan integrasi elemen desain. Semua elemen dirancang agar tidak hanya memenuhi fungsi teknis, tetapi juga dapat menyatu secara harmonis dengan lingkungan sekitar dan menjadi solusi berkelanjutan jangka panjang.
        	
        	
		    
        	
        	
		    
        	
        	
		    
        	
        	
		    
        	
        	
		    
Recent Comments